Hukum Perikatan


Pengertian perikatan (verbintenis) memiliki pengertian yang lebih luas daripada pengertian perjanjian (overeenkomst). Dikatakan lebih luas karena perikatan itu dapat terjadi karena :

a. Persetujuan para pihak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan “Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya…”. contohnya antara lain : perjanjian jual beli, perjanjian sewa-menyewa, perjanjian kredit, perjanjian deposito, dan lainnya.

b. Undang-undang, sebagaimana dimaksud Pasal 1352 KUH Perdata, perikatan itu dapat timbul dari undang-undang saja atau dari undang-undang karena perbuatan orang. Selanjutnya Pasal 1353 KUH Perdata menjelaskan bahwa perikatan yang dilahirkan dari undang-undang karena perbuatan orang, dapat terbit dari perbuatan halal atau dari perbuatan melanggar hukum. Atas dasar kedua pasal tersebut, dapat dikemukakan contoh sebagai berikut :

1) Dari undang-undang semata, misalnya Pasal 45 ayat 1 Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyatakan bahwa Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.

2)Dari undang-undang karena perbuatan :

a. Halal (tidak melanggar hukum), misalnya zaakwaarneming atau perwakilan sukarela atau mewakili kepentingan orang lain tanpa diminta atau disuruh oleh orang itu, seperti yang dimaksud oleh pasal 1354 KUHPerdata : “jika seseorang dengan sukarela, dengan tidak mendapat perintah untuk itu mewakili urusan orang lain dengan atau tanpa sepengetahuan orang itu, maka ia secara diam-diam mengikatkan dirinya untuk meneruskan serta menyelesaikan urusan tersebut sehingga orang yang diwakili kepentingan dapat mengerjakan sendiri urusan itu…”. Misalnya, A bertetangga dengan B. Pada suatu saat A pergi ke luar negeri selama 3 bulan. B sebagai tetangga, melihat pekarangan rumah A kotor, tidak terawat dan merusak pemandangan rumah B. Karena itulah B secara sukarela dengan tidak mendapatkan perintah dari A merawat dan membersihkan pekarangan rumah A. Terhadap peristiwa seperti ini maka berdasarkan pasal 1354, B wajib untuk terus menerus membersihkan dan merawat rumah A, sampai dengan A dapat mengerjakan sendiri pekerjaan itu.

b. Melanggar hukum (onreehtmatige daad) seperti yang dimaksud oleh pasal 1365 KUHPer : “tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian pada orang lain karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Misalnya, motor milik A yang sedang diparkir ditabrak oleh mobil yang dikendarai oleh B yang sedang dalam keadaan mabuk. Berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata, A dapat menuntut B untuk memberikan ganti rugi pada A, atas kerugian yang diderita oleh A yang dikarenakan perbuatan B.

Definisi Hukum Perikatan
Istilah perikatan ini lebih umum dipakaidalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti: hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang. Dapat berupa peristiwa, misalnya lahirnya seorang bayi,meninggalnya seorang. Dapat berupa keadaan, misalnya; letak pekarangan yang berdekatan,letak rumah yang bergandengan atau letak rumah yang bersusun (rusun). Karena hal yangmengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undangatau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi ‘akibat hukum’. Dengan demikian, perikatan yangterjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum.Jika dirumuskan, perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaanantara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibathukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukumharta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law),
dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi (personal law).

Di dalam hukum perikatan, terdapat sistem yang terbuka, dan yang dimaksud dengan sistemterbuka adalah setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimanapun, baik itu yang diatur dengan undang-undang atau tidak,inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harushalal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang.

Dasar Hukum Perikatan

Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut :
1. Perikatan yang timbul dari persetujuan ( perjanjian )
2. Perikatan yang timbul dari undang-undang
3. Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum ( onrechtmatige daad ) dan perwakilan sukarela ( zaakwaarneming )



Sumber perikatan berdasarkan undang-undang :
Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata ) : Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata ) : Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
Undang-undang ( Pasal 1352 KUH Perdata ) : Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.

Asas-asas Hukum Perikatan

Asas Perjanjian

Ada 7 jenis asas hukum perjanjian yang merupakan asas-asas umum yang harus diperhatikan oleh setiap pihak yang terlibat didalamnya.

a. Asas sistem terbukan hukum perjanjian

Hukum perjanjian yang diatur didalam buku III KUHP merupakan hukum yang bersifat terbuka. Artinya ketentuan-ketentuan hukum perjanjian yang termuat didalam buku III KUHP hanya merupakan hukum pelengkap yang bersifat melengkapi.

b. Asas Konsensualitas

Asas ini memberikan isyarat bahwa pada dasarnya setiap perjanjian yang dibuat lahir sejak adanya konsensus atau kesepakatan dari para pihak yang membuat perjanjian.

c. Asas Personalitas

Asas ini bisa diterjemahkan sebagai asas kepribadian yang berarti bahwa pada umumnya setiap pihak yang membuat perjanjian tersebut untuk kepentingannya sendiri atau dengan kata lain tidak seorangpun dapat membuat perjanjian untuk kepentingan pihak lain.

d. Asas Itikad baik

Pada dasarnya semua perjanjian yang dibuat haruslah dengan itikad baik. Perjanjian itikad baik mempunyai 2 arti yaitu :

1. Perjanjian yang dibuat harus memperhatikan norma-norma kepatutan dan kesusilaan.

2. Perjanjian yang dibuat harus didasari oleh suasana batin yang memiliki itikad baik.

e. Asas Pacta Sunt Servada

Asas ini tercantum didalam Pasal 1338 ayat 1 KUHP yang isinya “Semua Perjanjian yang di buat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya.

Asas ini sangat erat kaitannya dengan asas sistem terbukanya hukum perjanjian, karena memiliki arti bahwa semua perjanjian yang dibuat oleh para pihak asal memnuhi syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang diatur di dalam pasal 1320 KUHP sekalipun menyimpang dari ketentuan-ketentuan Hukum Perjanjian dalam buku III KUHP tetap mengikat sebagai Undang-Undang bagi para pihak yang membuat perjanjian.

f. Asas force majeur

Asas ini memberikan kebebasan bagi debitur dari segala kewajibannya untuk membayar ganti rugi akibat tidak terlaksananya perjanjian karena suatu sebab yang memaksa.

g. Asas Exeptio non Adiempletie contractus

Asas ini merupakan suatu pembelaan bagi debitur untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi akibat tidak dipenuhinya perjanjian, dengan alasan bahwa krediturpun telah melakukan suatu kelalaian.

Syarat Sahnya Perjanjian

a. Syarat Subjektif

- Keadaan kesepakatan para pihak

- Adanya kecakapan bagi para pihak

b. Syarat Objektif

- Adanya objek yang jelas

- Adanya sebab yang dihalalkan oleh hukum

Asas-asas dalam hukum perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.

• Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

• Asas konsensualisme

Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas.

Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata. Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah

1. Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri

Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.

2. Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian

Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.

3. Mengenai Suatu Hal Tertentu

Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.

4. Suatu sebab yang Halal

Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.

Wansprestasi
Wanprestasi adalah prestasi yang tidak terpenuhi. Apabila si berhutang (debitur), tidak melakukan apa yang dijanjikan akan dilakukannya, maka di katakana bahwa ia melakukan “wanprestasi”. Perkataan “wanprestasi” berasal dari bahasa belanda yang berarti prestasi buruk.

Ada 4 bentuk wanprestasi, yaitu :
1. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali
2. Debitur memenuhi prestasi namun tidak baik/keliru
3. Debitur memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya
4. Prestasi yang bertentangan dengan apa yang di tentukan dalam perjanjian

Wanprestasi membawa akibat yang merugikan bagi debitur karena
sejak saat itu debitur harus :
1). Mengganti kerugian
2). Benda yang dijadikan objek dari perikatan sejak saat tidak dipenuhinya
kewajiban menjadi tanggung jawab dari debitur.
3). Jika perikatan itu timbul dari perjanjian yang timbal balik, kreditur dapat
meminta pembatalan (pemutusan) perjanjian.

Dalam hal debitur melakukan wanprestasi maka kreditur dapat menuntut salah satu dari lima kemungkinan sebagai berikut :
1). Dapat menuntut pembatalan/pemutusan perjanjian.
2). Dapat menuntut pemenuhan perjanjian.
3). Dapat menuntut penggantian kerugian.
4). Dapat menuntut pembatalan dan penggantian kerugian.
5). Dapat menuntut pemenuhan dan pengganti kerugian.

Hapusnya Perikatan
Pasal 1381 Perikatan hapus :
1. Karena pembayaran
2. karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
3. Karena pembaruan utang
4. Karena penjumpaan utang atau kompensasi
5. Karena percampuran utang
6. Karena pembebasan utang
7. Karena musnahnya barang yang terutang
8. Karena kebatalan atau pembatalan

Sumber : J. Satrio, SH, “HUKUM PERIKATAN, Perikatan Yang Lahir Dari Undang-Undang, Buku 1 dan 2”
http://www.scribd.com/doc/20976269/Hukum-Perikatan
Silondae. Arus Akbar, Fariana. Andi, ”Aspek Hukum dalam Ekonomi dan Bisnis”, Mitra Wacana Media, 2010
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/06/hukum-perikatan-15/
http://legalakses.com/wanprestasi/

Komentar