peralihan hak atas tanah melalui jual beli

A. Kronologi Kasus
Peralihan atau pemindahan hak adalah suatu perbuatan hukum yang bertujuan memindahkan hak dari suatu pihak ke pihak lain. Berbeda dengan dialihkannya suatu hak, maka dengan dialihkannya suatu hak menunjukkan adanya suatu perbuatan hukum yang disengaja dilakukan oleh satu pihak dengan maksud memindahkan hak miliknya kepada orang lain. Dengan demikian pemindahannya hak milik tersebut diketahui atau diinginkan oleh pihak yang melakukan perjanjian peralihan hak atas tanah.
Sebutan tanah dalam bahasa kita dapat dipakai dalam berbagai makna. Sehingga dalam penggunaannya perlu diberi batasan, agar diketahui dalam arti apa istilah tersebut digunakan. Dalam Hukum Tanah kata sebutan “tanah” dipakai dalam arti yuridis, sebagai suatu pengertian yang telah diberi batasan resmi oleh Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia(1994), tanah adalah:
1. Permukaan bumi atau lapisan bumi yang diatas sekali
2. Keadaan bumi disuatu tempat
3. Permukaan bumi yang diberi batas
4. Bahan-bahan dari bumi, bumi sebagai bahan sesuatu (pasir, cadas, napal, dsb).
Tanah adalah permukaan bumi, yang dalam penggunaannya meliputi juga sebagian tubuh bumi yang ada dibawahnya dan sebagian dari ruang yang ada diatasnya, dengan pembatasan dalam Pasal 4 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yaitu : sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah yang bersangkutan, dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Sedalam berapa tubuh bumi dan setinggi berapa ruang yang bersangkutan oleh digunakan, ditentukan oleh tujuan penggunaannya, dalam batas-batas kewajaran, perhitungan teknis kemampuan tubuh buminya sendiri, kemampuan pemeganghaknya serta ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Dalam sebuah kasus yang melibatkan antara pihak Bapak Ahmad Husain yang memiliki tanah seluas 1,5 hektar di Kabupaten Semarang, yang kemudian menjualnya kepada pihak Bapak Sudarmaji dengan harga Rp. 150 juta. Permasalah terhadap kedua belah pihak ini adalah dari pihak Bapak Ahmad Husain menginginkan pelaksanaan jual beli ini di lakukan dengan menggunakan hukum adat yang di anut oleh Bapak Ahmad Husain, sedangkan dari pihak Bapak Sudarmaji tidak menghendaki hal tersebut, di karenakan selain beliau tidak menganut hukum adat sebagaimana Bapak Ahmad Husain, Bapak Sudarmaji juga berpendapat bahwa kalau jual beli yang dilakukan menganut tata cara yang di atur dalam hukum adat tidak memiliki kekuatan hukum positif yang berlaku sekarang. Setelah melakukan perdebatan yang sangat panjang, kedua belah pihak pun sepakat untuk menyelesaikan masalah mereka di kantor pertanahan Kabupaten Semarang.
B. Hukum Perikatan Tentang Jual Beli Menurut Konsep BW.
  1. Pengertian jual beli
Sehubungan dengan jual beli Hak Milik Atas Tanah yang di lakukan oleh pihak Bapak Ahmad Husain dengan pihak Bapak Sudarmaji, yang berakhir pada ketidaksepakatan antara kedua belah pihak dengan tata cara yang di inginkan oleh salah satu pihak, maka perlu dijelaskan lebih dahulu tentang pengertian”jual beli”, karena pengertian juhal beli menurut Hukum Adat berbeda dengan Hukum Barat sebagaimana tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). Sedangakan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tidak menjelaskan pengertian “jual beli” itu.
Dalam pengertian Hukum Adat jual beli tanah adalah merupakan suatu perbuatan hukum, yang mana pihak penjual menyerahkan tanah yang dijualnya kepada pembeli untuk selama-lamanya, pada waktu pembeli membayar harga (walaupun baru sebagian) tanah tersebut kepada penjual sejak itu Hak Atas Tanah telah beralih dari penjual kepada pembeli. Dengan kata lain bahwa sejak saat itu pembeli telah mendapat Hak Milik atas tanah tersebut. Jadi jual beli menurut Hukum Adat tidak lain adalah suatu perbuatan pemindahan hak antara penjual kepada pembeli. Maka biasa dikatakan bahwa jual beli menurut Hukum Adat itu bersifat “tunai” (kontan) dan “nyata”(kongkrit).
Sedangakan pengertian jual beli tanah menurut Hukum Barat sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pasal 1457 yang berbunyi  “jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”, pasal 1458 yang berbunyi “ Jual beli itu di anggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelah orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum  di serahkan, maupun harganya belum dibayar”, pasal 1459 yang berbunyi “ Hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpindah kepada si pembeli, selama penyerahannya belum dilakukan menurut pasal 612, 613 dan 616 tentang kebendaan”. Berdasarkan pada bunyi pasal 1457, 1458, dan 1459, penulis kemudian menyimpulkan bahwa jual beli adalah suatu perjanjian, yang dimana salah satu pihak mengikatkan dirinya untuk menyerahkan tanah dan pihak lainnya untuk membayar harga-harga yang telah ditentukan. Pada saat kedua pihak itu telah mencapai kata sepakat, maka jual beli telah dianggap terjadi, walaupun tanah belum diserahkan atau harganya belum dibayar. Akan tetapi sekalipun jual beli itu telah dianggap terjadi, namun Hak Atas Tanah itu belum berpindah kepada pembeli. Untuk pemindahan hak itu, masih diperlukan suatu perbuatan hukum yang berupa penyerahan yang caranya ditetapkan dengan suatu peraturan lain lagi.
  1. Subjek dan Objek jual beli.
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam jual beli tanah, yaitu mengenai subjek dan objek jual beli tanah. Mengenai subjek jual beli tanah adalah para pihak yang bertindak sebagai penjual dan pembeli. Yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah calon penjual harus berhak menjual yaitu pemegang sah dari hak atas tanah tersebut, baik itu milik perorangan atau keluarga. Sedangkan mengenai objek jual beli tanah adalah hak atas tanah yang
akan dijual. Didalam jual beli tanah, tujuan membeli hak atas tanah adalah supaya dapat secara sah menguasai dan mempergunakan tanah, tetapi secara hukum yang dibeli atau dijual bukan tanahnya tetapi hak atas tanahnya.
Adapun subjek jual beli tanah, ada 4 syarat mengenai sahnya suatu pejanjian jual beli hak atas tanah, yaitu:
a)    syarat sepakat yang mengikat dirinya
Dalam syarat ini berarti kedua pihak sama-sama sepakat untuk mengadakan suatu perjanjian jual beli yang mutlak dibuatkan sustu perjanjian tertulis berupa akta yang harus dibuat dan dihadapan Pejabat khusus yaitu PPAT.
b)  syarat cakap
Untuk mengadakan suatu perjanjian perbuatan hukum dalam hal ini perjanjian jual beli hak atas tanah, maka yang berhak adalah para pihak yang sudah memenuhi syarat dewasa menurut hukum, sehat pikiran dan tidak berada dibawah pengampuan, dan orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian tertenu.
c)  syarat hal tertentu
Apa yang diperjanjikan harus dicantumkan dengan jelas dalam akta jual beli, baik itu mengenai luas tanah, letaknya, sertipikat, hak yang melekat demi mengelakkan kemulut hukum dan hak-hak serta kewajiban kedua pihak harus terulan dengan jelas.
d)   syarat sebab yang hal
Didalam pengadaan suatu perjanjian, isi dan tujuan dalam perjanjian itu harus jelas dan berdasarkan atas keinginan kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian.
  1. Pengertian Perikatan
Dalam buku III BW, yang berkaitan dengan perikatan, mempunyai arti yang lebih luas dari perjanjian, yang disebabkab dalam buku III, diatur juga perihal hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan dan perjanjian. Sedangkan yang menjadi maksud dari buku III BW dalam masalah perikatan adalah suatu hukum antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang kepada yang lainnya, sedangkan orang lain menjadi berkewajiban dalam memenuhi tuntutan dari pihak yang menuntut tersebut. [1]
Dalam melakukan perikatan, tentunya ada unsur-unsur yang menjadi pijakan, yaitu :
a)      Adanya hubungan hukum.
b)      Adanya dua pihak.
c)      Adanya hak dan kewajiban.
d)     Adanya prestasi.
e)      Dalam bidang hukum kekayaan
4.  Sistem pengaturan hukum perikatan.
Dalam buku III KUH Perdata pengaturan hukum perikatan meliputi bagian umum yag membahas tentang peraturan yang berlaku bagi perikatan pada umumnya, sedangkan bagian khusus membahas tentang peraturan-peraturan mengenai perjanjian-perjanjian yang banyak dipakai oleh masyarakat.[2] Sedangkan dalam perikatan ada pula system yang mengatur tentang keterbukaannya, dalam artian sertap orang bebas untuk mengadakan perjanjian, meskipun perjanjian tersebut sudah diatur dalam undang-undang maupun belum. Akan tetapi keterbukaan itu menjadikan manusia lantas melakukan perjanjian sesuka hatinya. Namun, ada batasan-batasan dalam hukum perikatan dalam pelaksanaan perjanjian itu, yaitu :
a)      Tidak dilarang oleh undang-undang.
b)      Tidak bertentangan dengang kesusilaan.
c)      Tidak bertentangan dengan ketertiban umum.[3]
5.  Pembagian perikatan menurut sumbernya.
Hukum perikatan berdasarkan pengklasifikasiannya terbagi menjadi hukum perikatan yang lahir dari perjanjian dan perikatan yang lahir dari undang-undang. Pernyataa  tersebut sesuai dengan pasal 1233.
a)      perikatan yang lahir dari undang-undang.
Perihal perikatan yang lahir melalui undang-undang telah diatur dalam pasal 1353 sampai 1380 KUHPerdata. Maksud perikatan yang timbul dari undang-undang adalah suatu masalah perikatan yang timbul dari ketentuan dalam undang-undang itu sendiri. Sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang itu sendiri terbagi lagi menjadi dua bagian, yaitu :
1)      Perihal perikatan yang lahir dari undang-undang saja, dalam artian perikatan yang terjadi atau adanya perikatan tersebut lantaran adanya hubugan kekeluargaan.
2)      Perihal perikatan yang timbul karena manusia. Dalam periktan ini berdasarkan pada perbuatan manusia, sedangkan dalam perikatan yang ditimbulkan dari perbuatan manusia terbagi menjadi dua perbuatan yang diperbolehkan dan perbuatan yang melanggar hukum. Perbuatan manusia yang diperbolehkan di jelaskan pada pasal 1359 dan pasal 1395 KUHPerdata. Sedangkan perbuatan manusia yang melanggar hukum di jelaskan pada pasal 1365.[4]
b)      Perikatan yang lahir dari perjanjian.
Untuk perikatan yang lahir dari perjanjian sudah penulis jelaskan diatas pada syarat subjek jual beli hak atas tanah.
C. Analisis Kasus
Sebelum melakukan peralihan hak atas tanah, antara kedua belah pihak, yaitu pihak Bapak Ahmad Husain dengan pihak Bapak Sudarmaji hendaknya terlebih dahulu melakukan perjanjian atau kesepakatan mengenai bidang tanah yang akan dialihkan haknya tersebut. Sehingga hubungan hukum yang terjadi antara pihak Bapak Ahmad Husain dengan pihak Bapak Sudarmaji adalah lebih terfokuskan dalam perikatan,yang mana hubungan keterikatannya adalah Hak Atas Tanah yang di jual oleh pihak Bapak Ahmad Husain, yang berkewajiban memberikan kepada pihak Bapak Sudarmaji berupa tanah dan juga mendapatkan hak atas uang yang menjadi harga Hak Atas Tanah tersebut dari pihak Bapak Sudarmaji, yang sebelumnya melakukan perjanjian atau kesepakatan antara kedua belah pihak tentang bidang tanah yang akan dialihkan kepemilikan haknya.
Tetapi jika diteliti lebih lanjut, maka jual beli yang dilakukan menurut Hukum Adat yang di anut oleh Bapak Ahmad Husain bukanlah suatu “perjanjian” sebagaimana yang dimaksud dalam rumusan KUHPerdata, melainkan suatu perbuatan hukum yang dimaksudkan untuk menyerahkan tanah yang bersangkutan oleh penjual kepada pembeli, dan bersamaan dengan itu penjual dalam hal ini adalah Bapak Sudarmaji menyerahkan harganya kepada pembeli. Jadi antara pembayaran harga dan penyerahan haknya dilakukan secara bersamaan, dan sejak saat itu pula hak atas tanah yang pada awalnya milik Bapak Ahmad Husain telah berpindah menjadi milik Bapak Sudarmaji.
Berbeda halnya dengan sistem Hukum Barat, dimana hak milik atas tanahnya tidak dapat langsung berpindah kepada si pembeli selama penyerahan yuridisnya belum dilakukan, karena antara perjanjian jual beli dengan penyerahan yuridisnya (balik nama) dipisahkan secara tegas, jadi misalnya suatu penyetoran sejumlah uang untuk Bapak Ahmad Husain belum berarti tanah yang dijual itu otomatis menjadi milik Bapak Sudarmaji. Tetapi Bapak Sudarmaji masih harus melakukan suatu perbuatan hukum lagi yaitu balik nama untuk dikukuhkan sebagai pemilik tanah yang baru.
Dengan adanya perpindahan hak milik atas tanah, maka pemilik yang baru akan mendapatkan tanah hak miliknya dan wajib mendaftarkannya pada Kantor Pertanahan setempat, yang sebelumnya dibuat dahulu aktanya dihadapan PPAT. Didalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menyebutkan “Bahwa peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan, dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya (kecuali lelang) hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut perundang-undangan yang berlaku”.
E. Kesimpulan.
  1. Sebelum melakukan perpindahan hak atas tanah yang di jual oleh Bapak Ahmad Husain Kepada Bapak Sudarmaji, kedua belah pihak harus melakukan perjanjian dan kesepakatan tentang tanah yang ingin di alihkan haknya, dengan mengukur luas dan lebarnya.
  2. Hukum adat yang di anut oleh Bapak Ahmad Husain tidak berlaku dalam rumusan KUHPerdata. Karena pada hukum adat peraturan mengenai hal tersebut menurut KUHPerdata hanyalah sebuah penyerahan tanah dari si penjual kepada si pembeli tanpa adanya perilaku hukum selanjutnya yaitu balik nama.
  3. Dengan tidak sepakatnya Bapak Sudarmaji melakukan jual beli tanah dengan menggunakan hukum adat, maka Bapak Sudarmaji setidaknya terbebas dari permasalahan yang akan mengancam hak atas tanahnya pada masa yang akan datang. Karena apabila Bapak Sudarmaji menyepakati jual beli tanah menggunakan hukum adat, maka Bapak Sudarmaji tidak akan mendapatkan sertifikat akta balik nama dari kantor pertanahan. 
 Sumber: http://denyelfaruq.wordpress.com/peralihan-hak-atas-tanah-melalui-jual-beli/

Komentar